Tahun Tuhan

25 Nov 2010
“Dari mana datangnya dunia?
Sophie tidak mempunyai gagasan sekilas pun. sophie tahu bahwa dunia itu hanyalah sebuah planet kecil di angkasa. namun dari mana asalnya angkasa?

Mungkin saja angkasa selalu ada, karena itu dia tidak perlu mencari tahu dari mana ia berasal. Tapi, mungkinkah sesuatu itu selalu ada? Jauh di lubuk hatinya ia memprotes gagasan tersebut. tentunya segala sesuatu yang ada itu ada permulaanya, jadi angkasa pasti telah diciptakan dari seusuatu yang lain.

Tapi jika angkasa berasal dari sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu pasti juga berasal dari sesuatu yang lain pula. sophie merasa dia hanya menyeret-nyeret permasalahan.pada satu titk, sesuatu pasti berasal dari ketiadaan.namun apakah itu mungkin?

Mereka telah belajar di sekolah bahwa Tuhan menciptakan dunia. sophie berusaha untuk menghibur dirinya dengan pemikiran bahwa ini barang kali pemecahan terbaik untuk seluruh masalah itu.tapi dia lalu mulai berpikir lagi. dia dapat menerima bahwa Tuhan telah menciptakan angkasa, tapi bagaimana dengan Tuhan sendiri? Apakah dia menciptakan dirinya sendiri dari ketiadaan? Lagi-lagi ada sesuatu jauh di lubuk hatinya yang memprotes. meskipun Tuhan dapat menciptakan segala macam benda, tidak mungkin dia dapat mrenciptakan dirinya sendiri sebelum dia mempunaya “diri”.maka hanya tinggal satu kemungkinan : Tuhan selalu ada. Tapi sophie menolak kemungkinan itu ! segala sesuatu yang ada harus ada permulaanya. Oh persetan!!

****
Begitulah Jostein Garder dalam novelnya Sofie’s Verden (Dunia Sophie) menggelitik setiap pembaca tentang Tuhan. Rata-rata di setiap negara yang telah menerjemahkanya, novel ini terjual lebih dari 200.000 eksemplar dan ia sempat pula menduduki posisi pertama di daftar bestseller dunia pada 1995, mengalahkan novel The Celestine Prophecy karya James Redfield yang konon telah mengubah hidup banyak orang. Sampai sekarang novel ini telah diterjemahkan ke dalam 53 bahasa dan terjual kurang lebih 30 juta kopi di seluruh dunia.

Ini menunjukkan masih banyaknya manusia yang bertanya-tanya tentang misteri Tuhan dan alam semesta. Pertanyaan mereka hampir sama, Where’s God? Kapankah ia diciptakan? Dan bagaimana bentuk-Nya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini ada baik nya kita menyimak dialog menarik antara Imam Abu Hanifah dengan sekelompok orang yang ragu akan eksitensi Tuhan.

Orang-orang itu bertanya kepada sang Imam: “pada tahun berapakah Tuhan anda dilahirkan?“
Sang Imam menjawab: “Tuhan itu sudah ada sebelum adanya ruang dan waktu, wujudnya tidak ber-awal”.

Kurang puas dengan jawaban sang Imam, merekapun kembali bertanya: ke arah manakah Tuhan anda menghadap?

Dengan tenang sang Imam menjawab pertanyaan tersebut dengan pertanyaan juga: “ketika kalian membawa lampu kedalam sebuah ruangan yang gelap, ke arah manakah cahaya lampu itu menghadap?”

“emm.. ya, kemana-mana” jawab mereka.
“kalau cahaya lampu saja kalian tidak mampu menentukan arahnya, bagaimana kalian bisa menentukan ke arah mana sang pemberi cahaya langit dan bumi menghadap?“ kata Imam Abu Hanifah.

Masih belum puas mereka pun bertanya lagi: baiklah, tolong anda gambarkan fisik Tuhan anda dengan konkrit. Apakah ia padat sepeti besi, atau cair seperti air, ataukah ia berupa gas seperti asap dan uap?

Dengan cerdas, lagi-lagi sang Imam menjawab pertanyaan itu dengan pertanyaan: “kalian pernah nggak duduk di samping orang yang sedang sekarat ? “
“iya ..pernah.” sahut mereka.
“ apakah orang yang sekarat itu masih bisa berbicara setelah maut menjemputnya? “ Tanya sang Imam.
“Tidak,”.kata mereka.
“bukankah sebelum mati ia bisa bergerak dan berbicara !! Kenapa sekarang tidak bisa? Apa yang membuat mayat itu tak bisa bicara ?? ”
”karena ruhnya telah lepas dari jasadnya,” jawab mereka yakin.
“Baiklah. Sekarang tolong kalian gambarkan bentuk ruh itu kepadaku, apakah ia padat seperti besi atau cair seperti air, ataukah ia berupa gas seperti asap dan uap? “ cerca sang Imam.
“Wah, kami tak tahu sedikitpun mengenai ruh“ jawab mereka dengan suara pelan.
“kalau ruh saja yang notabene hanya mahluk ciptaan Tuhan kalian tak mampu menjangkaunya, bagaimana mungkin kalian memintaku untuk menggambarkan keaguangan zat Tuhan !!“ sahut sang Imam mantap.

****
Bagaimanapun, manusia dengan akalnya saja tak akan mampu menjangkau hakikat wujud Tuhan.karena akal manusia hanya bisa mencerna hal-hal yang bisa dijangkau oleh panca inderanya. Prof. DR. Quraisy Shihab dalam “Wawasan Al-quran” menjelaskan bahwa ada dua faktor yang menjadikan manusia tidak dapat melihat sesuatu. Pertama, karna sesuatu yang akan dilihat terlalu kecil apalagi dalam kegelapan.sebutir pasir – lebih-lebih di malam yang kelam – tidak mungkin di temukan oleh seseorang. Kedua, karena sesuatu itu sangat terang. Bukankah kelelawar tidak dapat melihat di siang hari, karena sedemikian terangnya cahaya matahari dibanding dengan kemampuan matanya untuk melihat? Demikian pula manusia tidak sanggup menatap matahari dalam beberapa saat saja, bahkan setelah sesaat menatapnya ia akan menemukan kegelapan. Kalau demikan wajar jika mata kepalanya tak mampu melihat Tuhan pencipta matahari.

Suatu ketika Sayyidina Ali R.A. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya, Zi’lib al-Yamani, “apakah anda pernah melihat Tuhan? “
Beliau menjawab “bagaimana mungkin aku menyembah yang tak pernah aku llihat” .
“Bagaimana anda melihat-Nya?“ tanyanya kembali.
“Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandanganya yang kasat, tapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat keimanan”.

Mata hati jauh lebih tajam dan dapat lebih meyakinkan daripada pandangan mata. Bukankah mata sering menipu kita? Kayu yang lurus terlihat bengkok di dalam sungai. Bintang yang besar terlihat kecil dari kejauhan. (M. Quraish Shihab: Wawasan Al-quran: hal. 26-27).

Walhasil, sesuatu yang terbatas tak akan pernah mampu menjangkau yang maha tak terbatas. Tapi, justru dengan keterbatasan itulah manusia bisa tahu bahwa ada sang pencipta yang maha tak terbatas, yang “menggenggam” seluruh alam dan isinya. Ia selalu ada tanpa harus di”ada”kan, karena “ada” dan “tiada” Ia juga lah yang meng-ADA-kanya.
Wallahu a’alm bis showab. []
Selanjutnya....

Membangun Indonesia Melalui Kebijakan Keuangan Publik

22 Nov 2010
Ditinjau dari sudut analisis ekonomi, kebijakan mempersaudarakan kaum muhajirin dengan kaum anshar ternyata memberikan dampak ekonomi yang sangat besar, sehingga menjadikan Madinah negeri yang makmur di kemudian hari.

Kebijakan fiskal memegang peranan penting dalam sistem ekonomi Islam bila dibandingkan kebijakan moneter. Adanya larangan tentang riba serta kewajiban tentang pengeluaran zakat menyiratkan tentang pentingnya kedudukan kebijakan fiskal dibandingkan dengan kebijakan moneter. Mengingat saat itu negara Islam yang dibangun Rasulullah tidak mewarisi harta sebagaimana layaknya dalam pendirinan suatu negara, maka kebijakan fiskal sangat memegang peranan penting dalam membangun negara Islam tersebut.

Keuangan Publik Islam
Dalam keuangan Islam, kebijakan keuangan yang ada harus disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh suatu pemerintahan yang islami. Terdapat perbedaan yang mendasar dari tujuan kegiatan ekonomi dalam ekonomi konvensional dengan ekonomi Islami.

Tujuan ekonomi konvensional lebih bersifat material dan tidak mempertimbangkan aspek-aspek ‘immaterial’. Segala analisis ditujukan untuk mengukur hasil kegiatan tersebut dari sudut pandang keduniaan saja.Sementara ekonomi Islam memiliki tujuan yang sangat komprehensif yang menyangkut aspek material dan spiritual baik untuk kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat.

Negara Islam pertama yang dibangun di dunia adalah negara yang dibangun Rasulullah di Madinah yang kita kenal dengan nama Negara Islam Madinah. Negara ini dibangun berlandaskan semangat keislaman yang tercermin dari Alquran dan kepemimpinan Rasulullah. Modal utama yang dipergunakan untuk membangun negara ini bukanlah uang melainkan semangat ketauhidan yang ditanamkan Rusulullah kepada masyarakat Madinah. Pada waktu itu kaum muhajirin yang mengungsi dari Mekkah dan datang ke Madinah tanpa membawa bekal yang cukup. Sementara di Madinah belum ada pemerintahan yang terorganisir dengan baik.

Beberapa kebijakan telah diambil oleh Rasulullah untuk mengukuhkan pemerintahan yang ada. Dalam bidang ekonomi, guna memacu pertumbuhan kegiatan perekonomian yang ada, maka langkah kebijakan yang diambil oleh Rasulullah adalah:

Membangun masjid sebagai Islamic center yang digunakan selain untuk beribadah juga untuk kegiatan kegiatan lain seperti tempat pertemuan parlemen, kesekretariatan, mahkamah agung, markas besar tentara, kantor urusan luar negeri, pusat pendidikan, tempat pelatihan bagi para penyebar luas agama, asrama, baitul maal, tempat para dewan dan utusan.

Guna memacu kegiatan ekonomi maka Rasulullah mempersaudarakan antara kaum mujahirin dengan kaum anshar. Kelompok anshar memberikan sebagian dari harta mereka kepada kaum muhajirin untuk dipergunakan dalam kegiatan produksi sampai kaum muhajirin dapat melangsungkan kehidupannya.

Ditinjau dari sudut analisis ekonomi Islam, kebijakan mempersaudarakan kaum muhajirin dengan kaum anshar ternyata memberikan dampak ekonomi yang sangat besar. Persaudaraan itu ternyata telah membuat Negeri Madinah sebagai suatu negeri yang makmur di kemudian hari.

Pada masa awal Pemerintahan Negara Islam itu, keuangan publik Islami dan kebijakan fiskal belum banyak berperan dalam kegiatan perekonomian. Kebijakan fiskal belum dijalankan sebagaimana dilakukan pada analisis kebijakan fiskal dewasa ini, karena memang belum ada pemasukan negara saat itu. Rasulullah SAW dan stafnya tidak mendapat gaji sebagaimana lazimnya suatu pemerintahan. Penerimaan pemerintah hanya berasal dari sumbangan masyarakat. Zakat belum diwajibkan pada awal Pemerintah Islam tersebut. Kalau Rasulullah membutuhkan dana untuk membantu fakir miskin, maka Bilal biasa meminjam dari orang Yahudi.

Sumber penerimaan lainnya pada awal tahun pemerintahan tersebut adalah harta yang diperoleh dari rampasan perang, dan ini baru diizinkan untuk menjadi salah satu sumber keuangan pemerintahan tersebut setelah turunnya surah al-Anfal (QS 8:41) pada tahun kedua Hijriah. Selanjutnya pada tahun kedua Hijriah tersebut zakat fitrah merupakan kewajiban yang harus dibayarkan oleh setiap muslim dan ini kemudian menjadi salah satu sumber keuangan pemerintahan.

Sumber keuangan lainnya berasal dari jizyah yaitu pajak yang dibayarkan oleh kelompok nonmuslim, khususnya ahli kitab, yang memperoleh jaminan perlindungan kehidupan dalam pemerintahan Islam. Sumber-sumber lainnya adalah kharaj (pajak tanah yang dipungut dari nonmuslim), ushr (bea impor) yang dikenakan kepada setiap pedagang dan dibayarkan hanya sekali selama setahun dan hanya berlaku kalau nilai perdagangannya melebihi 200 dirham.

Dengan berjalannya waktu dan mulai terkumpulnya sumber-sumber keuangan, pemerintahan mulai dapat membiayai berbagai pengeluaran terutama digunakan untuk mempertahankan eksistensi negara. Misalnya pengeluaran untuk membiayai pertahanan, pembayaran utang negara, bantuan untuk musafir, pembayaran gaji untuk wali, guru, dan pejabat negara lainnya.

Baru setelah itu, turun ayat yang menyangkut ketentuan pengeluaran dana zakat kepada delapan golongan, sebagaimana tercantum dalam surat QS at-Taubah ayat 60. Dengan turunnya ayat ini maka tampak kebijakan fiskal dengan tegas menetapkan jenis-jenis pengeluaran yang dapat digunakan atas dana zakat yang ada. Penggunaan dana zakat di luar ketentuan yang ditetapkan oleh ayat tersebut adalah tidak sesuai dengan ketentuan Alquran. Di situ tampak jelas bagaimana ekonomi Islam sangat peduli pada kaum miskin, yang derajat kehidupannya perlu dibantu dan diangkat ke tingkat yang layak.

Ditinjau sisi keuangan publik maka pengumpulan dan pengeluaran dana zakat dapat dipandang sebagai kegiatan untuk distribusi pendapatan yang lebih merata. Islam tidak menghendaki adanya harta yang diam dalam tangan seseorang. Apabila harta tersebut telah cukup nisabnya, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Dengan demikian di sini tampak adanya usaha untuk mendorong orang memutarkan hartanya ke dalam sistem perekonomian, sehingga bisa menghasilkan growth.

Dengan semakin berkembangnya Islam yang tercermin dengan semakin luasnya daerah kekuasaan pemerintahan Islam, maka peran dari kegiatan keuangan publik semakin penting. Pengumpulan zakat melalui lembaga amil merupakan model pengumpulan dana zakat yang ada pada waktu itu. Lembaga Baitul Maal merupakan ‘departemen keuangan’ pemerintahan Islam.

Selain lembaga lembaga tersebut, dalam pemerintahan Islam juga terdapat lembaga lain yang cukup berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat yaitu lembaga yang berkaitan dengan kegiatan wakaf. Dalam sejarah Islam, tercatat bahwa lembaga wakaf ini sedemikian besar peranannya dalam sistem perekonomian.

Kebijakan Fiskal Islami
Tidak seperti kebijakan fiskal konvensional, di mana suatu pemerintahan dapat mempengaruhi kegiatan perekonomian melalui berbagai insentif dalam tarif pajak maupun besarnya ‘tax. base’ dari suatu kegiatan perekonomian, maka dalam sistem zakat, segala ketentuan tentang besarnya ‘tarif’ zakat sudah ditentukan berdasarkan petunjuk dari Rasulullah. Oleh karena itu, kebijakan zakat sangat berbeda dengan kebijakan perpajakan.

Zakat merupakan komponen utama dalam sistem keuangan publik sekaligus kebijakan fiskal yang utama dalam sistem ekonomi Islam. Zakat merupakan kegiatan yang bersifat wajib bagi seluruh umat Islam. Walaupun demikian masih ada komponen lainnya, yang bersifat sukarela, yang dapat dijadikan sebagai unsur lain dalam sumber penerimaan negara. Komponen-komponen sukarela ini terkait dikaitkan dengan tingkat ketaqwaan seseorang.

Sumber-sumber keuangan pemerintah di luar zakat dapat ditentukan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan syariah yang ada. Sumber sumber keuangan baru dapat dibentuk setelah melalui proses kajian fikih. Misalnya, apakah untuk menghapus kemiskinan, pemerintahaan dibolehkan memungut pajak di luar zakat? Pertanyaan ini merupakan salah satu debat di kalangan ahli fikih yang merupakan ciri khas bagaimana sebuah kebijakan fiskal dapat dijalankan dalam sistem pemerintahan yang islami.

Sedangkan jenis pajak baru dalam keuangan publik dalam sistem ekonomi konvensional dikaji berdasarkan prinsip yang berbeda. Salah satu prinsip yang digunakan dalam keuang publik sistem ekonomi konvensional adalah prinsip fairness. Dalam keuangan publik tersebut, masalah fairness dikatakan sebagai masalah ‘etika’ yang penuh dengan value judgement. Untuk itu, mereka menentukan beberapa prinsip yang harus dipertimbangkan dalam value judgement tersebut yaitu benefit principle serta ability to pay principle.

Harus diakui, sistem analisis dalam keuangan publik islami belum semaju sistem analisis pada keuangan publik konvensional. Masih perlu kerja keras guna mengembangkan pemikiran-pemikiran yang berkaitan dengan keuangan publik islami. Karena kita sebagai ummat islam harus selalu optimis dan senantiasa bergerak, dengan semangat bahwa harapan itu masih ada di bawah panji cita-cita Ekonomi Rabbani. Wallahu a’lam bis-Shawab. []


* Tulisan ini disadur oleh Rahmat Arafah dari Hand Out Wakil Ketua Dewan Pakar Pengurus Pusat Masyarakat Ekonomi Syariah Musthafa Edwin Nasution, Ph.D.
Selanjutnya....

Mahasiswa Indonesia di Libya Gelar Festival Kebudayaan

19 Nov 2010
Menyambung kegiatan Idul Adha 1431H, Kesatuan Keluarga Mahasiswa Indonesia (KKMI) Libya kali ini gelar Festival Kebudayaan Indonesia di auditorium kampus Islamic Call College (ICC) Tripoli, tadi malam (Jum’at, 20/11).

Dalam sambutannya, Ketua KKMI, Iftah Risal mengatakan selain untuk mendoakan bangsa Indonesia yang sedang ditimpa berbagai bencana alam, acara ini juga ditujukan dalam rangka turut memperkenalkan kebudayaan Indonesia kepada para mahasiswa ICC yang berasal dari berbagai Negara.

Meskipun ada beberapa penampilan yang batal karena tidak diperbolehkan oleh pihak kampus, namun acara tetap mengesankan dan berjalan cukup sukses dengan banyaknya penonton memenuhi ruangan sampai akhir pertunjukan.

Acara yang berjalan lebih dari 3 jam ini menampilkan berbagai kesenian diantaranya: musik, marawis, pencak silat, dan teater Merapi.
Selanjutnya....